-->

Kiat Mencari Berkah Bagian Ke 14

Kiat Mencari Berkah: Menempuh hidup sederhana.

Di antara hal yang tidak kalah penting agar keberkahan dapat kita wujudkan pada rezeki kita ialah dengan menempuh hidup hemat dan sederhana. Kita membelanjakan harta kekayaan dengan penuh tanggung jawab. Dengan demikian, tidak ada sedikitpun dari harta kita yang dibelanjakan dalam hal yang kurang berguna atau sia-sia, apalagi diharamkan.

Yang demikian itu dikarenakan rezeki kita adalah karunia dan sekaligus amanat dari Allah subhanahu wa ta'ala yang kelak di hari Kiamat akan kita pertanggungjawabkan.

ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ

"Kemudian, kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan." (Qs. at-Takatsur: 8).

Sahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu mengisahkan, “Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam keluar dari rumahnya, tiba-tiba beliau menjumpai sahabat Abu Bakar dan Umar radhiallahu 'anhuma. Spontan, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada keduanya, 'Apakah yang menyebabkan kalian berdua keluar dari rumahmu pada saat seperti ini?' Mereka berdua menjawab, 'Ya Rasulullah, rasa laparlah yang menjadikan kami keluar rumah.' Mendengar jawaban keduanya, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam menimpalinya dengan bersabda, 'Dan sungguh -demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya- karena rasa lapar pula aku keluar rumah, maka mari ikutilah aku.' Keduanyapun mengikuti langkah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, menuju ke rumah salah seorang sahabat dari kaum Anshar (penduduk asli Madinah-pen.). Akan tetapi, didapatkan sahabat yang dituju sedang tidak sedang berada di rumah. Tatkala istri pemilik rumah menyaksikan kehadiran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan kedua sahabatnya, ia berkata, 'Selamat datang!' Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepadanya, 'Di manakah suamimu?' Wanita itu menjawab, 'Ia sedang mengambil air untuk kami.' Tidak begitu lama, sahabat pemilik datang, dan tatkala ia menyaksikan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan kedua sahabatnya, ia langsung berkata, 'Segala puji hanya milik Allah, hari ini, tiada orang yang kedatangan tamu yang lebih mulia dibanding tamuku.' Dan tanpa pikir panjang, ia segera menghidangkan setangkai kurma yang padanya terdapat kurma muda, kurma yang telah kering, dan kurma yang baru masak, lalu ia mempersilakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan kedua sahabatnya untuk makan. Bukan hanya itu, ia bergegas mengambil sebilah pisau. Menyaksikan perbuatan sahabatnya ini, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Jangan engkau sembelih kambing yang sedang menyusui.' Tidak lama kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan seluruh sahabatnya menyantap buah kurma dan daging kambing sembilihannya tersebut, hingga kenyang. Seusai menyantap hidangan itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada sahabat Abu Bakar dan Umar, 'Sungguh, demi Allah yang jiwaku berada di Tangan -Nya, kelak di hari Kiamat, kalian akan ditanyakan tentang kenikmatan ini. Rasa lapar telah memaksa kalian untuk keluar rumah, dan tidaklah kalian kembali ke rumah, kecuali setelah merasakan kenikmatan ini.'"  (HR. Imam Muslim).

Pada hadits lain Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَزُولَ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ القِيَامَةِ حَتىَّ يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ: عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ مَا عَمِلَ بِهِ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ

"Kelak kedua kaki setiap hamba tidak akan beranjak, hingga ditanyakan tentang empat hal: tentang umurnya; ia pergunakan untuk mengamalkan apa? ilmunya; apa yang ia perbuat dengannya? harta-bendanya; dari mana ia peroleh dan ke mana ia belanjakan? badannya; ia pergunakan untuk mengamalkan apa?” (HR. at-Tirmidzy, ath-Thabrany dan dishahihkan oleh al-Albani).

Bila demikian adanya, tidak mengherankan bila Islam telah mengajarkan kepada umatnya metode pembelanjaan harta yang benar. Di antara syariat tersebut ialah dengan menempuh hidup sederhana, jauh dari sifat kikir dan juga jauh dari berlebih-lebihan.

وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا

"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (hartanya), mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian." (Qs. al-Furqan: 67).

Al-Qurthuby al-Maliky berkata, "Ada tiga pendapat tentang maksud dari larangan berbuat israf (berlebih-lebihan) dalam membelanjakan harta:

Pendapat pertama: Membelanjakan harta dalam hal yang diharamkan dan ini adalah pendapat Ibnu Abbas.

Pendapat kedua: Tidak membelanjakan dalam jumlah yang banyak, dan ini adalah pendapat Ibrahim an-Nakha'i.

Pendapat ketiga: Mereka tidak larut dalam kenikmatan, bila mereka makan, maka mereka makan sekadarnya, dan dengan agar kuat dalam menjalankan ibadah, dan bila mereka berpakaian, maka sekadar untuk menutup auratnya, sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan ini adalah pendapat Yazid bin Abi Habib."

Selanjutnya, al-Qurthuby menimpali ketiga penafsiran ini dengan berkata, "Ketiga penafsiran ini benar, karena membelanjakan dalam hal kemaksiatan adalah diharamkan. Makan dan berpakaian hanya untuk bersenang-senang, dibolehkan, akan tetapi bila dilakukan agar kuat menjalankan ibadah dan menutup aurat, maka itu lebih baik. Oleh karena itu, Allah memuji orang yang melakukan dengan tujuan yang utama, walaupun selainnya adalah dibolehkan, akan tetapi bila ia berlebih-lebihan dapat menjadikannya pailit. Pendek kata, menabungkan sebagian harta itu lebih utama." (Ahkamul Qur'an oleh al-Qurthuby, 3/452).

Adapun maksud dari "Tidak kikir dalam membelanjakan harta", maka para ulama tafsir memiliki dua penafsiran:

Penafsiran pertama: Tidak enggan untuk menunaikan kewajiban, misalnya zakat dan lainnya.

Penafsiran kedua: Pembelanjaan harta tersebut tidak menjadikannya terhalangi dari menjalankan ketaatan (Ahkamul Qur'an oleh al-Qurthuby, 3/452), sebagaimana halnya orang yang hanyut dalam berbelanja di mall, sampai lupa untuk mendirikan shalat.

Bila seseorang telah terhindar dari sifat kikir, niscaya ia dapat menunaikan tanggung jawabnya dengan baik. Sebagaimana ia akan senantiasa bergegas dalam berinfak, bersifat dermawan, dan terhindar dari ambisi untuk menguasai harta orang lain (baca Syarah Shahih Muslim oleh Imam an-Nawawi, 17/30).

Kiat Mencari Berkah Bagian Ke 14

Pada ayat lain, Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,

وَلاَ تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلاَ تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَّحْسُورًا

"Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu, dan jangan pula kamu terlalu mengulurkannya; karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal." (Qs. al-Isra': 29).

Ulama ahli tafsir al-Quran menjelaskan, bahwa pada ayat ini Allah subhanahu wa ta'ala mengajarkan manajemen belanja yang benar. Kita diajarkan agar menempuh hidup sederhana, tidak kikir dengan cara menyembunyikan kekayaan dan enggan untuk mengulurkan tangan kepada orang lain. Sebaliknya, kita juga tidak dibenarkan untuk boros dalam membelanjakan harta, sehingga kita besar pasak daripada tiang, yang mengakibatkan kita tercela dan dirundung penyesalan (Tafsir ath-Thabari, 10/250, Ahkamul Qur'an oleh al-Qurthuby, 3/191 dan Tafsir Ibnu Katsir, 2/76).

Pada ayat lain, Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,

يَا بَنِي آدَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وكُلُواْ وَاشْرَبُواْ وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

"Wahai anak Adam, kenakanlah pakaianmu yang indah di setiap hendak memasuki masjid (hendak mendirikan shalat-pen.), makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (Qs. al-A'raf: 31).

Oleh karena itu, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah Allah tunjuk untuk menjadi teladan bagi umatnya dalam mengamalkan syariat al-Quran, menekankan metode ini kepada umatnya, di antaranya dengan bersabda,

(كُلُوا وَاشْرَبُوا وَتَصَدَّقُوا وَالْبَسُوا مَا لَمْ يُخَالِطْ إِسْرَافٌ وَلاَ مَخِيلَةٌ. (رواه أحمد والترمذي والنسائي وحسنه الألباني

"Makan, minum, bersedekah dan berpakaianlah (sesukamu-pen.) selama engkau tidak berlaku israf (berlebih-lebihan) dan tidak pula berlaku sombong." (HR. Ahmad, at-Tirmidzy, an-Nasa'i dan dihasankan oleh al-Albani).

Kisah berikut adalah salah satu wujud nyata dari syariat ini:

Ketika Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam menjalankan Haji Wada' pada tahun 10 Hijriyah, beliau menjenguk sahabat Sa'ad bin Abi Waqqas radhiallahu 'anhu yang  sedang menderita sakit parah. Tatkala sahabat Sa'ad menyaksikan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah berada di dekatnya, ia berkata, "Ya Rasulullah, sesungguhnya penyakitku sudah sedemikian parah, dan aku adalah orang kaya, sedangkan tiada yang mewarisiku (bila aku mati sekarang ini-pen.) selain putriku seorang diri. Layakkah bila aku menyedekahkan dua pertiga dari hartaku?” Nabi menjawab, “Tidak.” Sahabat Sa'ad kembali berkata, “Bagaimana kalau aku sedekahkan separuhnya?” Beliau menjawab, “Tidak.” “Bagaimana bila sepertiganya?” Beliau menjawab, "Ya, sepertiganya, dan sebenarnya sepertiga itu sangat banyak. Sesungguhnya bila engkau meninggalkan ahli warismu dalam kecukupan, itu lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam kekurangan, akibatnya mereka meminta-minta kepada orang lain. Dan tidaklah engkau menafkahkan suatu nafkah dengan tulus karena mengharap keridhaan Allah, melainkan engkau akan diberi pahala karenanya. Allah akan senantiasa memberimu pahala atas setiap nafkahmu, sampaipun atas makanan yang engkau suapkan ke mulut istrimu," (HR. Imam Bukhary).

Al-Muwaffaq Abdul Latif al-Baghdady berkata, "Hadits ini merangkumkan seluruh simbol-simbol utama dalam metode merawat diri. Hadits ini juga mengajarkan tentang metode mengurus kemaslahatan jiwa dan raga, baik dalam kehidupan dunia ataupun akhirat. Sikap berlebih-lebihan dalam segala hal berdampak buruk bagi keselamatan raga dan harta benda. Berlebih-lebihan dapat menghancurkan harta kekayaan dan jiwa, karena biasanya jiwa manusia terpengaruh oleh kesehatan raga.

Adapun sifat sombong, maka dapat membahayakan jiwa, karena orang yang dijangkiti sifat ini biasanya berlaku angkuh. Dan akibat perilakunya yang angkuh, ia ditimpa siksa di akhirat dan selama hidup di dunia, ia dibenci oleh orang lain." (Fathul Bari oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, 10/253).

Bila kita memahami syariat ini, niscaya kita dapat memahami hikmah doa yang sering diucapkan oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam,

(اللهم إني أَعُوذُ بِكَ من الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ (رواه البخاري

"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari rasa gundah, duka, lemah semangat, sifat malas, kikir, penakut, piutang yang memberatkan, dan dari penindasan orang lain." (HR. al-Bukhary).

Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam mengajari kita untuk berlindung dari piutang yang memberatkan. Yang demikian itu, karena biasanya tidaklah seseorang terlilit oleh piutang, melainkan akibat dari kesalahannya dalam membelanjakan harta.

Dahulu ulama salaf berkata, “Tidaklah jiwa seseorang dirundung oleh rasa gundah, karena memikirkan piutang yang tidak kuasa ia bayar, melainkan perasaan itu menjadikannya tidak kuasa untuk berpikir dengan jernih." (Fathul Bari oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, 11/174).

Penutup

Apa yang dipaparkan di atas hanyalah sekelumit kiat-kiat praktis untuk menumbuhkan keberkahan dalam rezeki kita. Walau demikian, berbagai kiat di atas bila kita amalkan, bukan hanya menumbuhkan keberkahan pada rezeki kita saja. Akan tetapi, kiat-kiat di atas akan menumbuh suburkan keberkahan dalam setiap derap langkah dan setiap denyut kehidupan kita.

Perlu diketahui, bahwa apa yang dipaparkan di atas, hanyalah setetes dari lautan, karena sebenarnya, masih banyak lagi amalan-amalan yang akan mendatangkan keberkahan dalam kehidupan seorang muslim. Semoga Allah subhanahu wa ta'ala senantiasa melimpahkan taufik dan keberkahan-Nya kepada kita semua. Semoga pemaparan singkat ini menjadi penggugah iman dan semangat kita untuk berjuang menggapai keberkahan dalam hidup. Dengan demikian, kita tidak menjadi budak dunia yang senantiasa dirundung duka dan derita akibat dari ambisi menumpuk harta kekayaan.

(تَعِسَ عبد الدِّينَارِ وَعَبْدُ الدِّرْهَمِ وَعَبْدُ الْخَمِيصَةِ إن أُعْطِيَ رضي وَإِنْ لم يُعْطَ سَخِطَ تَعِسَ وَانْتَكَسَ وإذا شِيكَ فلا انْتَقَشَ (رواه البخاري

"Semoga sengsara para pemuja dinar, dirham, dan baju sutra (pemuja harta kekayaan-pen.), bila ia diberi ia merasa senang, dan bila tidak diberi, ia menjadi benci, semoga ia menjadi sengsara dan semakin sengsara (bak jatuh tertimpa tangga), dan bila ia tertusuk duri, semoga tiada yang kuasa mencabut duri itu darinya." (HR. Bukhari).

Semoga dengan sedikit pemaparan ini, kita dapat memiliki pandangan baru terhadap kehidupan dan kekayaan dunia, bukan hanya jumlah yang kita cari, akan tetapi keberkahana lebih utama.

Tak lupa, pada akhir tulisan ini, saya mohon maaf atas segala kesalahan, dan itu datangnya dari setan dan kebodohan diri saya, dan saya ber-istighfar kepada Allah. Apabila ada kebenaran, maka itu semua adalah taufik dan 'inayah-Nya, maka hanya Dia-lah yang layak untuk dipuja. Wallahu a'alam bis shawaab.

Referensi:

Al-Qur'an al-Karim

Jami'ul Bayan Fi Tafsir al-Qur'an, oleh Imam Muhammad bin Jarir ath-Thabari.

Ahkamul Qur'an, oleh Abu Bakar al-Jashash al-Hanafy.

Ahkam al-Qur'an, oleh Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi'i.

Ma'alimut Tanziil, oleh al-Baghawi asy-Syafi'i.

Ahkam al-Qur'an, oleh Imam Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi.

Tafsir al-Qur'an al-'Azhim, oleh Imam Ismail bin Katsir ad-Dimasyqy.

Taisir al-Karim ar-Rahman, oleh Syaikh Abdurrahman as-Sa'dy.

Adwa'ul Bayan, oleh Muhammad Amiin asy-Syinqithy.

Shahih al-Bukhary, oleh Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhary.

Shahih Muslim, oleh Imam Muslim bin al-Hajjaj an-Naisabury.

Sunan Abu Dawud, oleh Imam Sulaiman bin Asy'ats Abu Dawud as-Sajistany.

Sunan at-Tirmidzy, oleh Imam Muhammad bin 'Isa at-Tirmidzy.

Sunan an-Nasa'i, oleh Imam Ahmad bin Syu'aib an-Nasa'i.

As-Sunan al-Kubra, oleh Imam Ahmad bin Al Husain al-Baihaqy.

Sunan Ibnu Majah, oleh Muhammad bin Yazid al-Quzwainy.

Al-Musnad, oleh Imam Ahmad bin Hambal asy-Syaibany.

Fathul Bari, oleh Ibnu Hajar al-Asqalani.

Taisirul Azizil Hamid, oleh Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab

Lisanul Arab, oleh Ibnul Manzhur al-Afriqy.

Al-Misbaah al-Munir, oleh Ahmad bin Muhammad al-Fayyumy.

Al-Qamuus al-Muhith, oleh Muhammad bin Ya'qub al-Fairuzabady.

Syarah Shahih Muslim oleh Imam an-Nawawi asy-Syafi'i.

Al-Jawaabul Kafi, oleh Ibnul Qayyim al-Jauziyyah.

Zaadul Ma'ad, oleh Ibnul Qayyim al-Jauziyyah.

Adhwaa'ul Bayan, oleh Syaikh Muhammad bin Amin asy-Syinqithy.

Faidhul Qadir, oleh al-Munaawy.

Ar-Risaalah oleh Imam asy-Syafi'i.

Syarah Shahih Imam al-Bukhary, oleh Ibnu Batthal al-Maliky.

Aunul Ma'buud, oleh Syamsul Haq al-'Azhim Abady.

Barakatur Riziq, oleh Dr. Abdullah Marhul as-Sawalimah.
LihatTutupKomentar