-->

Pentingnya Memiliki Adab (Sopan Santun)

Keberhasilan dakwah dan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya tak akan terlepaas dari patokan-patokan yang telah diberikan dalam ajaran agama. Dan contoh terbaik untuk itu adalah apa yang telah dibawa oleh para pendahulu mereka.

Dalam meneladani para salaf, hal pertama yang paling penting diingat ada­lah masalah adab. Mengenai pentingnya adab, Ibn Al-Mubarak mengatakan, “Kita lebih butuh kepada sedikit adab daripada kepada banyak ilmu.” Seorang ulama berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, sungguh engkau mempelajari satu bab adab lebih aku sukai daripada eng­kau mempelajari tujuh puluh bab ilmu.”

Ada yang mengatakan, “Apabila se­orang pengajar memiliki tiga hal, yakni kesabaran, tawadhu’, dan akhlaq yang baik, sempurnalah nikmat yang dirasakan oleh para muridnya. Dan apabila se­orang murid memiliki tiga hal, yaitu akal, adab, dan pemahaman yang baik, niscaya akan sempurnalah nikmat yang dirasakan oleh pengajamya.” Demikian dikutip dari kitab Al-lhya’.

Dihikayatkan, Abu Yazid Al-Busthami bermaksud mengunjungi seorang laki-laki yang dikatakan memiliki kebaikan. Maka ia pun menunggunya di sebuah masjid. Lalu orang itu keluar, kemudian meludah di masjid, yakni di dindingnya sebelah luar.

Melihat itu, Al-Busthami pun pulang dan tidak jadi bertemu dengannya. la mengatakan, “Orang yang tidak dapat memelihara adab syari’at tidak dapat dipercaya untuk menjaga rahasia Allah.”

Al-lmam Ahmad bin Zain Al-Habsyi mengatakan, “Hendaknya seorang penuntut jalan akhirat senantiasa mencari-cari manfaat di mana pun berada, baik pada orang yang ahli maupun bukan ahli, mau mengambil dari setiap orang bagaimana pun ia, baik ia orang alim maupun orang awam. Karena, terkadang akhlaq yang bagus ia dapati pada sebagian orang awam dan tidak ia dapati pada yang lainnya dan juga tidak pada dirinya. Di antara keadaan seorang yang benar adalah mengambil dari teman bergaulnya segala yang baik yang ia lihat terdapat padanya, baik ucapan maupun perbuatan, dan meninggalkan apa yang buruk darinya. Apabila ia mengambil manfaat yang ia dapatkan padanya, janganlah ia mengambil kerusakan dan penyimpangan yang ada pada orang itu.” 

Demikian disebutkan dalam kitab Qurrah al-’Ain.

Selanjutnya ia juga mengatakan, “Pemahaman itu bagi yang memilikinya merupakan nikmat yang sangat besar, tetapi mereka terkadang tidak merasakannya sebagai nikmat, karena mereka memandang hal itu bisa diperoleh dari membaca kitab, misalnya. Dan orang yang melakukan muthala’ah kitab-kitab hendaknya memohon pertolongan kepada Allah agar memudahkan pemaha­man baginya dan dapat membayangkannya sehingga ia dapat memperoleh apa yang dituntut dan Allah membukakan baginya pemahaman dalam agama.”

Al-lmam Ahmad bin Hasan Al-Attas mengatakan, “Ada dua perkara yang baik untuk diperhatikan seorang penuntut ilmu: Pertama, ia tidak masuk pada sesuatu dari ilmu-ilmu dan amal-amalnya melainkan dengan niat yang baik. Kedua, ia memperhatikan buah dan hasilnya. Apabila tidak memperhatikan ini, ia tidak mendapatkan manfaat.” la juga mengatakan, “Apabila seorang penuntut ilmu membaca suatu kaidah dan ia ingin menghafalnya tetapi tidak ada padanya tinta dan tidak ada pula pena, hendaklah ia menulisnya dengan jarinya pada tangannya atau pada lengannya.”

"Wallahu a’lam"

Di antara adab seorang alim adalah mengatakan “Aku tidak tahu” atau “Wallahu a’lam (Allah lebih mengetahui) apabila ia ditanya tentang sesuatu yang tidak diketahuinya. Diriwayatkan dalam atsar dari Ibnu Umar, ia mengatakan, “Ilmu itu ada tiga: kitab yang menuturkan, sunnah yang berlaku, dan ucapan ”Aku tidak tahu’.” Al-lmam Muhyiddin An-Nawawi mengatakan, “Di antara ilmu seorang alim adalah ia mengatakan Aku tidak tahu”, atau ‘Wallahu a’lam’, mengenai sesuatu yang tidak diketahuinya.”

Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abu Laila, “Aku telah berjumpa dengan 120 sahabat Rasulullah. Apabila salah seorang di antara mereka ditanya tentang suatu masalah, ia mengembalikannya kepada yang lain, begitulah sampai kembali lagi kepada yang pertama.” Di dalam sebuah riwayat dikatakan, “Tidak­lah seseorang menyampaikan sebuah hadits melainkan ia ingin agar saudaranya mencukupinya, dan tidaklah diminta untuk memberikan fatwa tentang sesua­tu melainkan ingin agar saudaranya mencukupinya dengan memberi fatwa (artinya menjawabnya sehingga ia sendiri tidak perlu lagi menjawabnya).”

Masih berkenaan dengan hal tersebut, diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas, “Barang siapa memberikan ‘fatwa’ tentang segala sesuatu yang ditanyakan, berarti ia orang gila.” Imam Malik mengatakan, “Barang siapa menjawab suatu masalah, hendaklah sebelum menjawab ia memeriksa dirinya ten­tang nasibnya nanti, di surga atau neraka, dan bagaimana dapat terbebas dari neraka. Kemudian baru ia menja­wab.” la juga mengatakan, ”Tidaklah aku memberikan fatwa sampai tujuh puluh orang mengakui bahwa aku menguasai masalah itu.”

Hendaknya seseorang mengingat ucapan dari Rasulullah, yang mengata­kan, “Orang yang paling berani di antara kalian untuk memberikan fatwa, berarti ia paling berani terhadap neraka.” Perhatikanlah keadaan para salaf, baik dari kalangan sahabat, tabiin, maupun ulama-ulama sesudah mereka dan bagaimana mereka melakukan pemeriksaan dalam memberikan fatwa meskipun me­reka paling memiliki kemampuan dalam ilmu, memiliki kekuatan dalam ijtihad, dan jauh dari hawa nafsu. Sampai-sampai Imam Malik, salah seorang ulama salafush shalih yang paling terkemuka, pernah hanya menjawab empat masalah dari sekitar empat puluh masalah yang diajukan kepadanya, sedangkan mengenai masalah yang lainnya ia mengata­kan, “Allah lebih mengetahui.”


Majalah Alkisah No. 22/2009
Soucer: sarkub.com
LihatTutupKomentar