Kesalahan Pertama
Penisbatan isteri kepada suaminya, seperti : Suha Arafat, nisbat kepada suaminya. Ini merupakan suatu kesalahan, berdasarkan firman Allah subhanahu wa Ta’ala.
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah “[al-Ahzab : 5]
Yang benar ialah Suha bintu Fulan (nisbat kepada bapaknya)
Kesalahan Kedua
Penyebutan sesuatu tidak menggunakan nama yang sebenarnya menurut syar’i. seperti penyebutan riba bank diganti dengan faidah bank, khamr telah diberi nama dengan nama dan atau label yang banyak dan bermacam-macam, hingga ada yang menamainya minuman untuk membangkitkan semangat dan sebagainya, zina diganti dengan hubungan sex dan sebagainya.
Yang benar, seharusnya kita menyebut hal-hal tersebut berdasarkan apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala namakan. Karena dalam penamaan (yang Allah berikan tersebut) terdapat banyak faidah. Di antaranya, agar manusia mengetahui apa-apa yang telah diharamkan Allah, baik nama ataupun sifatnya. Sehingga mereka menjauhinya, setelah mengetahui bahaya dan ancaman siksa (bagi yang melanggar). Dan tidak timbul kesan meremehkan pada jiwa kita mengenai keharaman tersebut setelah namanya diganti.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu ; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya” [al-Baqarah : 278-279]
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ ۖ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu dengan sebab (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)” [al-Maidah : 90-91]
Kemudian firman-Nya.
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk” [al-Isra : 32]
Kesalahan Ketiga
Penyebutan kata Al-Karm untuk anggur. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang menyebut anggur dengan kata Al-Karm. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Janganlah kalian namakan Al-Karm, tapi namakanlah al’inab dan al-hablah” [HR Muslim]
Kata Al-Inab dan Al-Hablah memiliki makna yang sama, yakni anggur. Nabi Muhammad Shallallahu alaiahi wa salam juga bersabda.
“Mereka menyebut Al-Karm, sesungguhnya Al-Karm adalah hati seorang mu’min” [HR Al-Bukhari]
Beliau melarang hal ini disebabkan lafadz Al-Karm menunjukkan akan melimpahnya kebaikan dan manfaat pada sesuatu. Dan hati seorang mukmin lebih berhak untuk itu.
Kesalahan Keempat.
Berkun-yah dengan kun-yah Abul Hakam. Karena Al-Hakim adalah Allah. Maka, tidak boleh berkun-yah dengan kun-yah tersebut. Yang benar, kita berkun-yah dengan kun-yah yang disunnahkan, seperti Abu Abdillah, Abu Abdirrahman, Abu Abdil Hakam. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Sesungguhnya nama yang paling dicintai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman” [HR Muslim]
Dalam hadits Al-Miqdam bin Syuraih bin Hani, ketika ia (yakni Hani) bersama kaumnya datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mendengar mereka memberi kun-yah Abul Hakam kepadanya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya, beliau berkata.
“Sesungguhnya Allah adalah Al-Hakam dan kepadaNyalah hukum kembali, maka mengapakah engkau berkun-yah dengan Abul Hakam? Ia (Hani) berkata, “Sesungguhnya jika kaumku berselisih, mereka mendatangiku lalu kuputuskan hukum diantara mereka hingga kedua belah pihak ridha atas keputusanku”. Beliau berkata, “Alangkah baiknya perbuatanmu, apakah engkau memiliki anak?” Ia menjawab, “Aku memiliki Syuraih, Abdullah dan Muslim. Beliau bertanya lagi, “Siapakah yang paling besar diantara mereka?” Ia menjawab, “Syuraih”. Beliau berkata, “Kalau begitu, engkau Abu Syuraih” [HR An-Nasa’i]
Kesalahan Kelima
Memberi nama dengan nama yang mengandung unsur tazkiyah (penyucian diri), seperti : Barrah (orang yang banyak berbakti), Khalifatullah (Khalifah Allah), Wakilullah (Wakil Allah), dan sebagainya.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memberi nama Barrah. Beliau bersabda.
“Janganlah kalian mengatakan diri kalian suci, karena Allah lebih tahu siapa yang baik diantara kalian” [HR Muslim]
Yang benar, ialah memberi nama dengan nama-nama yang disyariatkan, seperti : Zainab, Asma, Abdullah, Abdurrahman. Ataupun nama para nabi, seperti ; Yusuf, Ibrahim dan sebagainya.
Yusuf bin Abdillah bin Salam Radhiyallahu ‘anhu mengisahkan
“Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiahkan nama Yusuf untukku. Beliau meletakkanku di pangkuannya dan beliau mengusap kepalaku” [HR Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, hal. 248]
Juwairiyah bintu Al-Harits Al-Khuza’iyyah, dahulu bernama Barrah. Kemudian Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam merubah namanya menjadi Juwairiyah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam haditsnya yang lain, berkaitan dengan nama tazkiyah.
“Janganlah engkau namakan putramu dengan Rabah, Yasar, Aflah dan Nafi’” [HR Muslim]
Demikian juga dengan nama Kalifatullah ataupun Wakilullah. Arti kata al-wakil adalah seseorang yang bertindak mewakili pihak yang mewakilkan. Sedangkan Allah tidak ada wakil bagi-Nya, dan tidak ada yang bisa menggantikanNya. Bahkan Dialah yang memelihara hamba-Nya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Ya Allah, Engkau adalah teman dalam perjalanan dan pemelihara keluarga (yang kami tinggal)” [HR Muslim]
Nabi juga melarang kita menamakan diri dengan sebutan Malikul Amlak (Raja Diraja). Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda.
“Nama yang paling hina disisi Allah pada hari Kiamat adalah seseorang yang menamakan diri dengan sebutan Malikul Amlak (Raja Diraja)” [HR Al-Bukhari]
Kesalahan Keenam
Memberi nama dengan nama yang buruk, seperti ; Harb (perang), Sha’b (sulit, susah), Hazan (kesedihan), Ushaiyyah (maksiat), Aashiyah (wanita yang bermaksiat), Murrah (pahit) dan yang semisal dengan itu.
Yang benar, memberi nama dengan nama yang baik, seperti : Hasan, Husain, dan yang semisalnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menyukai nama yang baik. Beliau bertafaul (berharap kebaikan) dengan nama tersebut. Barangsiapa mau mendalami hadits-hadits Nabi, niscaya dia akan mendapati makna-makna nama yang berkaitan dengan sunnah. Seakan-akan nama-nama itu diambil dari sunnah-sunnah itu.
Cobalah renungi sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam berikut.
“Ghafar adalah orang yang Allah ampuni dan Aslam adalah yang Allah selamatkan, sedangkan Ushaiyyah dialah yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya” [HR Al-Bukhari]
Jika anda ingin mengetahui, adakah pengaruh nama bagi pemiliknya? Maka perhatikanlah kisah Said bin Al-Musayyib berikut ini.
“Dari Ibnu Al-Musayyib, dari bapaknya, sesungguhnya bapaknya (yakni kakek Ibnu Al-Musayyib) datang menemui Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bertanya : “Siapakah namamu?”. Ia menjawab, “Hazn”. Beliau berkata, “Engkau adalah Sahl”. Ia berkata. “Aku tidak akan merubah nama pemberian bapakku”. Ibnul Musayyib berkata : “Sejak itu kesusahan senantiasa meliputi kami” [HR Al-Bukhari]
Makna kata al-Huzunah (dalam hadits diatas, -red) adalah Al-Ghilzah (kekerasan, kesusahan) Dapat pula bearti tanah yang keras atau tanah datar.
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, sesungguhnya Nabi merubah nama ‘Aashiyah. Beliau berkata, “Kamu Jamilah”.
Ketika Al-Hasan lahir, Ali menamainya Harb. Kemudian Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang seraya berkata : “Perlihatkan kepadaku cucuku. Siapa nama yang kalian berikan pada cucuku?” Ali berkata, “Harb”. Beliau berkata, “Bahkan namanya adalah Hasan”[HR Ahmad]
Kesalahan Ketujuh
Sebagian orang memberikan julukan attatharruf fid din (sikap berlebih-lebihan dalam agama) kepada mereka yang memegang agama secara mutasyadid (ekstrim)
Yang benar kita sebut ghuluw fid dien (berlebih-lebihan dalam agama). Penyebutan ini pun diberikan, jika memang orang tersebut telah benar-benar keluar dari agama karena sikap ghuluwnya tadi
Ahli hadits mengatakan istilah attatharruf fid dien ini muncul pada awal-awal abad ke lima belas hijriah. Ketika itu terjadi taubat massal para pemuda muslim. Mereka berbondong-bondong kembali kepada Allah., ber-iltizam (konsisten) kepada hukum-hukum dan adab-adab Islam, serta mendakwahkannya. Sebelumnya, kondisi orang semacam ini (yang ber-iltizam kepada Islam), justru dikatakan sebagai golongan terbelakang, ta’ashub, jumud dan ejekan-ejekan lainnya. Maka ketahuilah, sesungguhnya agama Allah berada di pertengahan antara sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dan sikap meremehkan.
Para ulama Islam pada setiap masa pun senantiasa melarang sikap ghuluw dalam agama, disamping mereka juga selalu mengajak kepada taubat.
Adapun zaman sekarang, timbangan norma telah banyak diputar-balikkan. Hingga orang yang bertaubat dan kembali kepada Allah (yang nota bene hal ini merupakan sesuatu yang diwajibkan oleh syari’at) justru disingkirkan, dengan alasan sikap berlebihan tadi. Maksudnya, agar orang-orang menjauhi mereka dan untuk melumpuhkan dakwah ilallah. Ini jelas pemikiran jahat Yahudi. Semoga Allah membinasakan mereka.
Namun sangat aneh dan mengherankan. Kaum muslimin menerima begitu saja pemikiran tadi. Tidakkah mereka berpikir dan menolaknya?
Kesalahan Kedelapan
Sebagian suami memanggil isterinya dengan sebutan Ummul Mu’minin. Ini jelas haram. Karena konsekwensinya panggilan tersebut ialah sang suami haruslah seorang Nabi dan isteri-isterinya adalah Ummahatul Mu’minin. Suatu kesalahan yang bisa mengakibatkan kepada kekufuran. Karena kita harus meyakini, bahwa tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam
Ada juga suami yang memanggil isterinya dengan panggilan madam, suatu panggilan ala Perancis yang terlarang. Karena mengandung unsur tasyabbuh (meniru-niru) kaum kuffar.
Yang benar ialah memanggil isteri dengan nama kun-yahnya seperti Ummu Abdillah, Ummu Fulan, atau dapat juga dengan panggilan zaujati (isteriku) atau ahli (keluargaku).
Wallahul hadi ila ar-rasyad.
Oleh : Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu
Penisbatan isteri kepada suaminya, seperti : Suha Arafat, nisbat kepada suaminya. Ini merupakan suatu kesalahan, berdasarkan firman Allah subhanahu wa Ta’ala.
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah “[al-Ahzab : 5]
Yang benar ialah Suha bintu Fulan (nisbat kepada bapaknya)
Kesalahan Kedua
Penyebutan sesuatu tidak menggunakan nama yang sebenarnya menurut syar’i. seperti penyebutan riba bank diganti dengan faidah bank, khamr telah diberi nama dengan nama dan atau label yang banyak dan bermacam-macam, hingga ada yang menamainya minuman untuk membangkitkan semangat dan sebagainya, zina diganti dengan hubungan sex dan sebagainya.
Yang benar, seharusnya kita menyebut hal-hal tersebut berdasarkan apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala namakan. Karena dalam penamaan (yang Allah berikan tersebut) terdapat banyak faidah. Di antaranya, agar manusia mengetahui apa-apa yang telah diharamkan Allah, baik nama ataupun sifatnya. Sehingga mereka menjauhinya, setelah mengetahui bahaya dan ancaman siksa (bagi yang melanggar). Dan tidak timbul kesan meremehkan pada jiwa kita mengenai keharaman tersebut setelah namanya diganti.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu ; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya” [al-Baqarah : 278-279]
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ ۖ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu dengan sebab (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)” [al-Maidah : 90-91]
Kemudian firman-Nya.
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk” [al-Isra : 32]
Kesalahan Ketiga
Penyebutan kata Al-Karm untuk anggur. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang menyebut anggur dengan kata Al-Karm. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Janganlah kalian namakan Al-Karm, tapi namakanlah al’inab dan al-hablah” [HR Muslim]
Kata Al-Inab dan Al-Hablah memiliki makna yang sama, yakni anggur. Nabi Muhammad Shallallahu alaiahi wa salam juga bersabda.
“Mereka menyebut Al-Karm, sesungguhnya Al-Karm adalah hati seorang mu’min” [HR Al-Bukhari]
Beliau melarang hal ini disebabkan lafadz Al-Karm menunjukkan akan melimpahnya kebaikan dan manfaat pada sesuatu. Dan hati seorang mukmin lebih berhak untuk itu.
Kesalahan Keempat.
Berkun-yah dengan kun-yah Abul Hakam. Karena Al-Hakim adalah Allah. Maka, tidak boleh berkun-yah dengan kun-yah tersebut. Yang benar, kita berkun-yah dengan kun-yah yang disunnahkan, seperti Abu Abdillah, Abu Abdirrahman, Abu Abdil Hakam. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Sesungguhnya nama yang paling dicintai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman” [HR Muslim]
Dalam hadits Al-Miqdam bin Syuraih bin Hani, ketika ia (yakni Hani) bersama kaumnya datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mendengar mereka memberi kun-yah Abul Hakam kepadanya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya, beliau berkata.
“Sesungguhnya Allah adalah Al-Hakam dan kepadaNyalah hukum kembali, maka mengapakah engkau berkun-yah dengan Abul Hakam? Ia (Hani) berkata, “Sesungguhnya jika kaumku berselisih, mereka mendatangiku lalu kuputuskan hukum diantara mereka hingga kedua belah pihak ridha atas keputusanku”. Beliau berkata, “Alangkah baiknya perbuatanmu, apakah engkau memiliki anak?” Ia menjawab, “Aku memiliki Syuraih, Abdullah dan Muslim. Beliau bertanya lagi, “Siapakah yang paling besar diantara mereka?” Ia menjawab, “Syuraih”. Beliau berkata, “Kalau begitu, engkau Abu Syuraih” [HR An-Nasa’i]
Kesalahan Kelima
Memberi nama dengan nama yang mengandung unsur tazkiyah (penyucian diri), seperti : Barrah (orang yang banyak berbakti), Khalifatullah (Khalifah Allah), Wakilullah (Wakil Allah), dan sebagainya.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memberi nama Barrah. Beliau bersabda.
“Janganlah kalian mengatakan diri kalian suci, karena Allah lebih tahu siapa yang baik diantara kalian” [HR Muslim]
Yang benar, ialah memberi nama dengan nama-nama yang disyariatkan, seperti : Zainab, Asma, Abdullah, Abdurrahman. Ataupun nama para nabi, seperti ; Yusuf, Ibrahim dan sebagainya.
Yusuf bin Abdillah bin Salam Radhiyallahu ‘anhu mengisahkan
“Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiahkan nama Yusuf untukku. Beliau meletakkanku di pangkuannya dan beliau mengusap kepalaku” [HR Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, hal. 248]
Juwairiyah bintu Al-Harits Al-Khuza’iyyah, dahulu bernama Barrah. Kemudian Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam merubah namanya menjadi Juwairiyah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam haditsnya yang lain, berkaitan dengan nama tazkiyah.
“Janganlah engkau namakan putramu dengan Rabah, Yasar, Aflah dan Nafi’” [HR Muslim]
Demikian juga dengan nama Kalifatullah ataupun Wakilullah. Arti kata al-wakil adalah seseorang yang bertindak mewakili pihak yang mewakilkan. Sedangkan Allah tidak ada wakil bagi-Nya, dan tidak ada yang bisa menggantikanNya. Bahkan Dialah yang memelihara hamba-Nya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Ya Allah, Engkau adalah teman dalam perjalanan dan pemelihara keluarga (yang kami tinggal)” [HR Muslim]
Nabi juga melarang kita menamakan diri dengan sebutan Malikul Amlak (Raja Diraja). Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda.
“Nama yang paling hina disisi Allah pada hari Kiamat adalah seseorang yang menamakan diri dengan sebutan Malikul Amlak (Raja Diraja)” [HR Al-Bukhari]
Kesalahan Keenam
Memberi nama dengan nama yang buruk, seperti ; Harb (perang), Sha’b (sulit, susah), Hazan (kesedihan), Ushaiyyah (maksiat), Aashiyah (wanita yang bermaksiat), Murrah (pahit) dan yang semisal dengan itu.
Yang benar, memberi nama dengan nama yang baik, seperti : Hasan, Husain, dan yang semisalnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menyukai nama yang baik. Beliau bertafaul (berharap kebaikan) dengan nama tersebut. Barangsiapa mau mendalami hadits-hadits Nabi, niscaya dia akan mendapati makna-makna nama yang berkaitan dengan sunnah. Seakan-akan nama-nama itu diambil dari sunnah-sunnah itu.
Cobalah renungi sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam berikut.
“Ghafar adalah orang yang Allah ampuni dan Aslam adalah yang Allah selamatkan, sedangkan Ushaiyyah dialah yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya” [HR Al-Bukhari]
Jika anda ingin mengetahui, adakah pengaruh nama bagi pemiliknya? Maka perhatikanlah kisah Said bin Al-Musayyib berikut ini.
“Dari Ibnu Al-Musayyib, dari bapaknya, sesungguhnya bapaknya (yakni kakek Ibnu Al-Musayyib) datang menemui Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bertanya : “Siapakah namamu?”. Ia menjawab, “Hazn”. Beliau berkata, “Engkau adalah Sahl”. Ia berkata. “Aku tidak akan merubah nama pemberian bapakku”. Ibnul Musayyib berkata : “Sejak itu kesusahan senantiasa meliputi kami” [HR Al-Bukhari]
Makna kata al-Huzunah (dalam hadits diatas, -red) adalah Al-Ghilzah (kekerasan, kesusahan) Dapat pula bearti tanah yang keras atau tanah datar.
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, sesungguhnya Nabi merubah nama ‘Aashiyah. Beliau berkata, “Kamu Jamilah”.
Ketika Al-Hasan lahir, Ali menamainya Harb. Kemudian Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang seraya berkata : “Perlihatkan kepadaku cucuku. Siapa nama yang kalian berikan pada cucuku?” Ali berkata, “Harb”. Beliau berkata, “Bahkan namanya adalah Hasan”[HR Ahmad]
Kesalahan Ketujuh
Sebagian orang memberikan julukan attatharruf fid din (sikap berlebih-lebihan dalam agama) kepada mereka yang memegang agama secara mutasyadid (ekstrim)
Yang benar kita sebut ghuluw fid dien (berlebih-lebihan dalam agama). Penyebutan ini pun diberikan, jika memang orang tersebut telah benar-benar keluar dari agama karena sikap ghuluwnya tadi
Ahli hadits mengatakan istilah attatharruf fid dien ini muncul pada awal-awal abad ke lima belas hijriah. Ketika itu terjadi taubat massal para pemuda muslim. Mereka berbondong-bondong kembali kepada Allah., ber-iltizam (konsisten) kepada hukum-hukum dan adab-adab Islam, serta mendakwahkannya. Sebelumnya, kondisi orang semacam ini (yang ber-iltizam kepada Islam), justru dikatakan sebagai golongan terbelakang, ta’ashub, jumud dan ejekan-ejekan lainnya. Maka ketahuilah, sesungguhnya agama Allah berada di pertengahan antara sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dan sikap meremehkan.
Para ulama Islam pada setiap masa pun senantiasa melarang sikap ghuluw dalam agama, disamping mereka juga selalu mengajak kepada taubat.
Adapun zaman sekarang, timbangan norma telah banyak diputar-balikkan. Hingga orang yang bertaubat dan kembali kepada Allah (yang nota bene hal ini merupakan sesuatu yang diwajibkan oleh syari’at) justru disingkirkan, dengan alasan sikap berlebihan tadi. Maksudnya, agar orang-orang menjauhi mereka dan untuk melumpuhkan dakwah ilallah. Ini jelas pemikiran jahat Yahudi. Semoga Allah membinasakan mereka.
Namun sangat aneh dan mengherankan. Kaum muslimin menerima begitu saja pemikiran tadi. Tidakkah mereka berpikir dan menolaknya?
Kesalahan Kedelapan
Sebagian suami memanggil isterinya dengan sebutan Ummul Mu’minin. Ini jelas haram. Karena konsekwensinya panggilan tersebut ialah sang suami haruslah seorang Nabi dan isteri-isterinya adalah Ummahatul Mu’minin. Suatu kesalahan yang bisa mengakibatkan kepada kekufuran. Karena kita harus meyakini, bahwa tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam
Ada juga suami yang memanggil isterinya dengan panggilan madam, suatu panggilan ala Perancis yang terlarang. Karena mengandung unsur tasyabbuh (meniru-niru) kaum kuffar.
Yang benar ialah memanggil isteri dengan nama kun-yahnya seperti Ummu Abdillah, Ummu Fulan, atau dapat juga dengan panggilan zaujati (isteriku) atau ahli (keluargaku).
Wallahul hadi ila ar-rasyad.
Oleh : Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu