Tak dipungkiri, manusia tidak bisa terlepas dari manusia yang lain. Artinya ia mutlak membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Di sinilah, manusia tidak bisa dipisahkan dari kehidupan bertetangga. Islam pun telah menggariskan etika sosial untuk menciptakan jalinan yang harmonis antar keluarga. Sehingga kehidupan manusia terpenuhi atmosfer yang penuh dengan spirit tasaamuh (toleransi), ta’awun (tolong menolong) dalam kebaikan dan taqwa. Penyakit ananiyah (egoisme), su’uzhan (buruk sangka), tajassus (sikap memata-matai), menggunjing aib orang lain, dan sederet akhlak tercela lainnya tidak endapatkan tempat. Keamanan, ketentraman dan roda kehidupan yang didasari saling tepa selira dan menghormati dapat semakin kokoh
TETANGGAMU, PERGAULILAH DENGAN BAIK
Tetangga adalah sosok yang akrab dalam kehidupan kita sehari-hari. Tak jarang, tetangga kita lebih tahu keadaan kita ketimbang kerabat kita yang tinggal berjauhan. Saat kita sakit dan ditimpa musibah, tetangga lah yang pertama membantu kita. Tak heran, jika Islam begitu menekankan kepada kita untuk berbuat baik kepada terangga, karena dampak hubungan yang harmonis antar tetangga mendatangkankan maslahat yang begitu besar. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِالله وَ اليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُحْسِنْ إلى جَارِهِ
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berbuat baik kepada terangganya. [1]
وَأحْسِنْ مُجَاوَرَةَ مَنْ جَاوَرَكَ تَكُنْ مُسْلِمًا
Dan berbuat baiklah kepada tetanggamu, niscaya engkau menjadi seorang muslim. [2]
Dua hadits di atas mengindikasikan bahwa berbuat ihsan (baik) kepada tetangga merupakan salah satu simbol kesempurnaan iman seseorang. Sebab antara iman dan ketinggian akhlak seorang muslim berbanding lurus. Semakin tinggi keimanan seseorang, maka semakin mulia pula akhlaknya kepada siapapun, termasuk kepada para tetangganya. Keluhuran akhlak seseorang bukti kesempurnaan imannya.
Dalam hadits yang lain, Rasulullah menggambarkan arti pentingnya kedudukan
tetangga dengan mengatakan.
مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِيْ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
Jibril terus-menerus berwasiat kepadaku (untuk berbuat baik) terhadap tentangga, hingga aku yakin ia (seorang tetangga) akan mewariskan harta kepadanya (tetangganya). [3]
Berkaitanmakna berbuat ihsan (baik) kepada tetangga, Syaikh Nazhim Sulthan menerangkan: "(Yaitu) dengan melakukan beragam perbuatan baik kepada tetangga, sesuai dengan kadar kemampuan. Misalnya berupa pemberian hadiah, mengucapkan salam, tersenyum ketika bertemu dengannya, mengamati keadaannya, membantunya dalam perkara yang ia butuhkan, serta menjauhi segala perkara yang menyebabkan ia merasa tersakiti, baik secara fisik atau moril. Tetangga yang paling berhak mendapatkankan perlakuan baik dari kita adalah tetangga yang paling dekat rumahnya dengan kita, disusul tetangga selanjutnya yang lebih dekat. 'Aisyah pernah bertanya,"Wahai Rasulullah, aku memiliki dua orang tetangga. Maka kepada siapakah aku memberikan hadiah diantara mereka berdua?". Beliau menjawab.
إلى أقْرَبَهُمَا مِنْكِ بَابًا
Kepada tetangga yang lebih dekat pintu rumahnya denganmu.[4]
Oleh karena itu, Imam Al Bukhari menulis judul bab khusus dalam Shahihnya Bab Haqqul Jiwar Fii Qurbil Abwab (Bab Hak Tetangga Yang Terdekat Pintunya). Ini merupakan indikator kedalaman pemahaman beliau terhadap nash-nash tentang hal ini. [5]
Lebih lanjut, Syaikh Nazhim memaparkan tentang kriteria tentang tetangga. Yang Pertama : Tetangga muslim yang memiliki hubungan kekerabatan. Dia memiliki tiga hak sekaligus. Yaitu ; hak bertetangga, hak Islam dan hak kekerabatan. Yang Kedua : Tetangga muslim (yang tidak memiliki hubungan kekerabatan), maka ia memiliki dua hak. Yaitu ; hak bertetangga dan hak Islam.
Yang Ketiga : Tetangga yang hanya memiliki satu hak. Yaitu tetangga yang kafir. Dia hanya memiliki hak sebagai tetangga, dengan dasar keumuman nash-nash yang memerintahkan berbuat ihsan kepada tetangga, yang mencakup tetangga muslim dan non-muslim. Seperti yang telah dicontohkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap tetangga Beliau yang beragama Yahudi.[6]
Dari Abdullah bin Amr bin Al 'Ash bahwa ia menyembelih seekor kambing kemudian bertanya (kepada keluarganya). "Sudahkah kalian berikan sebagian kambing tersebut kepada tetangga kita yang Yahudi?. Beliau bertanya sampai tiga kali., kemudian berkata,"Aku telah mendengar Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda.
مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِيْ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أنَّهُ سَيُوَرِّثُه
Jibril senantiasa berwasiat kepadaku (untuk berbuat baik) terhadap tetangga, hingga aku yakin ia akan memberikan harta warisan kepadanya. [7]
Kriteriai tetangga yang dinyatakan oleh Syaikh Nazhim ini, sebenarnya merupakan kandungan sebuah hadits yang termaktub dalam Musnad Al Bazzar (Lihat Kasyful Astar no: 1896) dan Al Hilyah karya Abu Nu’aim (5/207). Namun sanadnya bermasalah. Al Haitsami dalam Al Majma (8/164), mengomentari sanadnya dengan berkata: "Imam Al Bazaar meriwayatkannya dari syaikh (guru)nya (yang bernama) Abdullah bin Muhammad Al Haritsi, dan ia adalah seorang pemalsu hadits.[8]
Akan tetapi kriteria di atas, sejalan dengan penjelasan Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Bar yang menyatakan. "Penyebutan (istilah) tetangga mencakup (tetangga) yang muslim maupun yang kafir, yang ahli ibadah ataupun yang fasik, teman ataupun musuh, yang senegara ataupun dari negeri lain, yang bisa memberikan manfaat ataupun yang akan membahayakan, yang masih kerabat ataupun bukan saudara, yang dekat rumahnya ataupun yang jauh. Tetangga memiliki (perbedaan derajat) tingkatan antara satu dengan lainnya. Tetangga yang memiliki derajat tertinggi adalah yang terhimpun padanya seluruh sifat-sifat istimewa, kemudian (tingkatan selanjutnya adalah) yang banyak memiliki sifat-sifat luhur, dan (tingkatan yang terakhir) adalah yang paling sedikit sifat-sifat baiknya. [9]
Syaikh Abdurrahman bin Abdul Karim Al 'Ubayyid, penulis kitab Ushul Manhajil Islami, menjelaskan makna tetangga secara lebih luas, "Istilah tetangga sebagaimana yang dikenal secara umum oleh manusia adalah tetangga yang hidup berdampingan rumah dengan anda. Namun sebenarnya, parameter dalam masalah ini adalah keumuman lafazh (tetangga). Maka istilah tetangga mencakup setiap orang yang hidup bersama anda, baik ketika dalam pekerjaan, di toko, atau masjid, di jalan, maupun di tengah-tengah masyarakat umum. Maka setiap insan yang berada di sekeliling anda maka ia adalah tetangga anda. Termasuk pula dalam kategori tetangga ini adalah sebuah negara dengan negeri jirannya, juga negara Islam dengan negara tetangganya. Jadi, tetangga antar negara dinilai sama persis layaknya tetangga antar anggota masyarakat, yaitu dari sisi pandang bahwa keduanya dituntut untuk berbuat baik kepada tetangganya masing-masing. Tidaklah terjadi peperangan antar negara melainkan lantaran negara yang satu melanggar hak negara tetangganya. Ini adalah salah satu prinsip yang agung.[10]
ETIKA BERTETANGGA YANG SEHAT
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu menjelaskan beberapa etika pergaulan dengan tetangga yang selayaknya kita perhatikan:[11]
• Hendaknya kita mencintai kebaikan untuk tetangga kita sebagaimana kita menyukai kebaikan itu untuk diri kita. Bergembira jika tetangga kita mendapat kebaikan dan kebahagiaan, serta jauhi sikap dengki ketika itu. Hal ini mencakup pula keharusan untuk menasehatinya ketika kita melihat tetangga kita melalaikan sebagian perintah Allah, serta mengajarinya perkara-perkara penting dalam agama yang belum ia ketahui dengan cara yang baik dan penuh hikmah. Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُحِبَّ لِجَارِهِ أَوْ قَالَ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Dan demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggamanNya, tidaklah seseorang beriman hingga ia mencintai untuk tetangganya, atau Beliau berkata, untuk sudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.[12]
Ibnu Abi Jamrah berkata, "Kondisi tetangga berbeda-beda, ditinjau dari tingkat keshalehan mereka. (Prinsip) yang mencakup seluruhnya adalah keinginan kebaikan untuk tetangga tersebut, dan nasehat kepadanya dengan cara yang baik, mendoakannya agar mendapatkan petunjuk, menjauhi sikap yang menyakitinya, dan mencegah tetangga yang tidak shalih dari perbuatan yang menganggu atau dari kefasikan dengan cara yang bijak, sesuai dengan tahapan beramar ma'ruf nahi mungkar. Serta mengenalkan kepada tetangga yang kafir tentang Islam dan menjelaskan kepadanya kebaikan-kebaikan agama Islam dan memotivasinya untuk masuk Islam dengan cara yang baik pula. Jika hal itu bermanfaat maka (ajaklah ia dengan nasehat itu), dan bila nasehat tidak mempan, maka boikotlah ia dengan tujuan untuk memberinya pelajaran. Karena dirinya telah mengetahui alasan kita memboikotnya, agar ia berhenti dari keengganannya untuk masuk Islam, jika memang pemboikotan tersebut efektif diterapkan padanya"
• Saat musibah melanda tetangga kita dan dia dirundung kesedihan dan terbelit kesulitan, sebisa mungkin kita membantunya, baik bantuan materi ataupun dukungan moril. Menghibur dan meringankan beban penderitaannya dengan nasehat, tidak menampakan wajah gembira tatkala dia dirundung duka. Menjenguknya ketika sakit dan mendoakan kesembuhan untuknya serta membantu pengobatannya bila memang dia membutuhkannya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
لَيْسَ المُؤْمِنُ الَّذِيْ يَشْبَعُ وَ جَارُهُ جَائِعٌ إلى جَنْبِهِ
Bukanlah seorang mukmin, orang yang kenyang sementara tetangganya kelaparan di sampingnya. [13]
• Hindari sejauh mungkin sikap yang dapat menyebabkan tetangga kita merasa tersakiti, baik berupa perbuatan ataupun perkataan. Contohnya, mencela, membeberkan aibnya di muka umum, memusuhinya, atau melemparkan sampah di muka rumahnya sehingga menyebabkan ia terpeleset ketika melewatinya, dan jenis gangguan lainnya. Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda.
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِالله وَ اليَوْمِ الآخِر فَلاَ يُؤْذِيْ جَارَهٌ
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka janganlah ia menyakiti tetangganya. [14]
• Kunjungilah tetangga pada hari raya dan sambutlah undangannya jika dia mengundang kita. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
حَقُّ المُسْلِمِ على المُسْلِمِ خَمْسٌ : رَدُّ السَّلاَمِ وَ عِيَادَةُ المَرِيْضِ وَ اتِّبَاعُ الجَنَائِزِ وَ إجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَ تَشْمِيْتُ العَاطِسِ
Hak muslim atas muslim yang lain ada lima, menjawab ucapan salam, menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, memenuhi undangan dan mendoakan orang yang bersin.[15]
• Berikanlah toleransi kepada tetangga kita selama bukan dalam perkara maksiat. Didiklah keluarga kita untuk tidak berkata-kata keras atau berteriak-teriak sehingga mengganggu tetangga. Janganlah kita mengeraskan suara radio kita hingga mengusik ketentraman tetangga, terutama pada malam hari. Sebab, mungkin diantara mereka ada yang sedang sakit, atau lelah, atau tidur atau mungkin ada anak sekolah yang sedang belajar. Dan ketahuilah, mendengarkan musik adalah perkara haram, apalagi jika sampai mengganggu tetangga, maka dosanya menjadi berlipat ganda. Rasulullah bersabda.
خَيْرُ الأصْحَابِ عِنْدَ الله خَيْرُهُمْ لِصَاحِبِهِ وَ خَيْرُ الجِيْرَانِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ
Sebaik-baik sahabat adalah yang paling baik terhadap sahabatnya, dan sebaik-baik tetangga adalah yang paling baik terhadap tetangganya.[16]
Dan hendaklah kita tidak bersikap kikir terhadap tetangga yang membutuhkan bentuan kita, selama kita bisa membantunya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
لَا يَمْنَعْ أَحَدُكُمْ جَارَهُ أَنْ يَغْرِزَ خَشَبَةً فِي جِدَارِهِ
TETANGGAMU, PERGAULILAH DENGAN BAIK
Tetangga adalah sosok yang akrab dalam kehidupan kita sehari-hari. Tak jarang, tetangga kita lebih tahu keadaan kita ketimbang kerabat kita yang tinggal berjauhan. Saat kita sakit dan ditimpa musibah, tetangga lah yang pertama membantu kita. Tak heran, jika Islam begitu menekankan kepada kita untuk berbuat baik kepada terangga, karena dampak hubungan yang harmonis antar tetangga mendatangkankan maslahat yang begitu besar. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِالله وَ اليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُحْسِنْ إلى جَارِهِ
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berbuat baik kepada terangganya. [1]
وَأحْسِنْ مُجَاوَرَةَ مَنْ جَاوَرَكَ تَكُنْ مُسْلِمًا
Dan berbuat baiklah kepada tetanggamu, niscaya engkau menjadi seorang muslim. [2]
Dua hadits di atas mengindikasikan bahwa berbuat ihsan (baik) kepada tetangga merupakan salah satu simbol kesempurnaan iman seseorang. Sebab antara iman dan ketinggian akhlak seorang muslim berbanding lurus. Semakin tinggi keimanan seseorang, maka semakin mulia pula akhlaknya kepada siapapun, termasuk kepada para tetangganya. Keluhuran akhlak seseorang bukti kesempurnaan imannya.
Dalam hadits yang lain, Rasulullah menggambarkan arti pentingnya kedudukan
tetangga dengan mengatakan.
مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِيْ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
Jibril terus-menerus berwasiat kepadaku (untuk berbuat baik) terhadap tentangga, hingga aku yakin ia (seorang tetangga) akan mewariskan harta kepadanya (tetangganya). [3]
Berkaitanmakna berbuat ihsan (baik) kepada tetangga, Syaikh Nazhim Sulthan menerangkan: "(Yaitu) dengan melakukan beragam perbuatan baik kepada tetangga, sesuai dengan kadar kemampuan. Misalnya berupa pemberian hadiah, mengucapkan salam, tersenyum ketika bertemu dengannya, mengamati keadaannya, membantunya dalam perkara yang ia butuhkan, serta menjauhi segala perkara yang menyebabkan ia merasa tersakiti, baik secara fisik atau moril. Tetangga yang paling berhak mendapatkankan perlakuan baik dari kita adalah tetangga yang paling dekat rumahnya dengan kita, disusul tetangga selanjutnya yang lebih dekat. 'Aisyah pernah bertanya,"Wahai Rasulullah, aku memiliki dua orang tetangga. Maka kepada siapakah aku memberikan hadiah diantara mereka berdua?". Beliau menjawab.
إلى أقْرَبَهُمَا مِنْكِ بَابًا
Kepada tetangga yang lebih dekat pintu rumahnya denganmu.[4]
Oleh karena itu, Imam Al Bukhari menulis judul bab khusus dalam Shahihnya Bab Haqqul Jiwar Fii Qurbil Abwab (Bab Hak Tetangga Yang Terdekat Pintunya). Ini merupakan indikator kedalaman pemahaman beliau terhadap nash-nash tentang hal ini. [5]
Lebih lanjut, Syaikh Nazhim memaparkan tentang kriteria tentang tetangga. Yang Pertama : Tetangga muslim yang memiliki hubungan kekerabatan. Dia memiliki tiga hak sekaligus. Yaitu ; hak bertetangga, hak Islam dan hak kekerabatan. Yang Kedua : Tetangga muslim (yang tidak memiliki hubungan kekerabatan), maka ia memiliki dua hak. Yaitu ; hak bertetangga dan hak Islam.
Yang Ketiga : Tetangga yang hanya memiliki satu hak. Yaitu tetangga yang kafir. Dia hanya memiliki hak sebagai tetangga, dengan dasar keumuman nash-nash yang memerintahkan berbuat ihsan kepada tetangga, yang mencakup tetangga muslim dan non-muslim. Seperti yang telah dicontohkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap tetangga Beliau yang beragama Yahudi.[6]
Dari Abdullah bin Amr bin Al 'Ash bahwa ia menyembelih seekor kambing kemudian bertanya (kepada keluarganya). "Sudahkah kalian berikan sebagian kambing tersebut kepada tetangga kita yang Yahudi?. Beliau bertanya sampai tiga kali., kemudian berkata,"Aku telah mendengar Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda.
مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِيْ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أنَّهُ سَيُوَرِّثُه
Jibril senantiasa berwasiat kepadaku (untuk berbuat baik) terhadap tetangga, hingga aku yakin ia akan memberikan harta warisan kepadanya. [7]
Kriteriai tetangga yang dinyatakan oleh Syaikh Nazhim ini, sebenarnya merupakan kandungan sebuah hadits yang termaktub dalam Musnad Al Bazzar (Lihat Kasyful Astar no: 1896) dan Al Hilyah karya Abu Nu’aim (5/207). Namun sanadnya bermasalah. Al Haitsami dalam Al Majma (8/164), mengomentari sanadnya dengan berkata: "Imam Al Bazaar meriwayatkannya dari syaikh (guru)nya (yang bernama) Abdullah bin Muhammad Al Haritsi, dan ia adalah seorang pemalsu hadits.[8]
Akan tetapi kriteria di atas, sejalan dengan penjelasan Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Bar yang menyatakan. "Penyebutan (istilah) tetangga mencakup (tetangga) yang muslim maupun yang kafir, yang ahli ibadah ataupun yang fasik, teman ataupun musuh, yang senegara ataupun dari negeri lain, yang bisa memberikan manfaat ataupun yang akan membahayakan, yang masih kerabat ataupun bukan saudara, yang dekat rumahnya ataupun yang jauh. Tetangga memiliki (perbedaan derajat) tingkatan antara satu dengan lainnya. Tetangga yang memiliki derajat tertinggi adalah yang terhimpun padanya seluruh sifat-sifat istimewa, kemudian (tingkatan selanjutnya adalah) yang banyak memiliki sifat-sifat luhur, dan (tingkatan yang terakhir) adalah yang paling sedikit sifat-sifat baiknya. [9]
Syaikh Abdurrahman bin Abdul Karim Al 'Ubayyid, penulis kitab Ushul Manhajil Islami, menjelaskan makna tetangga secara lebih luas, "Istilah tetangga sebagaimana yang dikenal secara umum oleh manusia adalah tetangga yang hidup berdampingan rumah dengan anda. Namun sebenarnya, parameter dalam masalah ini adalah keumuman lafazh (tetangga). Maka istilah tetangga mencakup setiap orang yang hidup bersama anda, baik ketika dalam pekerjaan, di toko, atau masjid, di jalan, maupun di tengah-tengah masyarakat umum. Maka setiap insan yang berada di sekeliling anda maka ia adalah tetangga anda. Termasuk pula dalam kategori tetangga ini adalah sebuah negara dengan negeri jirannya, juga negara Islam dengan negara tetangganya. Jadi, tetangga antar negara dinilai sama persis layaknya tetangga antar anggota masyarakat, yaitu dari sisi pandang bahwa keduanya dituntut untuk berbuat baik kepada tetangganya masing-masing. Tidaklah terjadi peperangan antar negara melainkan lantaran negara yang satu melanggar hak negara tetangganya. Ini adalah salah satu prinsip yang agung.[10]
ETIKA BERTETANGGA YANG SEHAT
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu menjelaskan beberapa etika pergaulan dengan tetangga yang selayaknya kita perhatikan:[11]
• Hendaknya kita mencintai kebaikan untuk tetangga kita sebagaimana kita menyukai kebaikan itu untuk diri kita. Bergembira jika tetangga kita mendapat kebaikan dan kebahagiaan, serta jauhi sikap dengki ketika itu. Hal ini mencakup pula keharusan untuk menasehatinya ketika kita melihat tetangga kita melalaikan sebagian perintah Allah, serta mengajarinya perkara-perkara penting dalam agama yang belum ia ketahui dengan cara yang baik dan penuh hikmah. Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُحِبَّ لِجَارِهِ أَوْ قَالَ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Dan demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggamanNya, tidaklah seseorang beriman hingga ia mencintai untuk tetangganya, atau Beliau berkata, untuk sudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.[12]
Ibnu Abi Jamrah berkata, "Kondisi tetangga berbeda-beda, ditinjau dari tingkat keshalehan mereka. (Prinsip) yang mencakup seluruhnya adalah keinginan kebaikan untuk tetangga tersebut, dan nasehat kepadanya dengan cara yang baik, mendoakannya agar mendapatkan petunjuk, menjauhi sikap yang menyakitinya, dan mencegah tetangga yang tidak shalih dari perbuatan yang menganggu atau dari kefasikan dengan cara yang bijak, sesuai dengan tahapan beramar ma'ruf nahi mungkar. Serta mengenalkan kepada tetangga yang kafir tentang Islam dan menjelaskan kepadanya kebaikan-kebaikan agama Islam dan memotivasinya untuk masuk Islam dengan cara yang baik pula. Jika hal itu bermanfaat maka (ajaklah ia dengan nasehat itu), dan bila nasehat tidak mempan, maka boikotlah ia dengan tujuan untuk memberinya pelajaran. Karena dirinya telah mengetahui alasan kita memboikotnya, agar ia berhenti dari keengganannya untuk masuk Islam, jika memang pemboikotan tersebut efektif diterapkan padanya"
• Saat musibah melanda tetangga kita dan dia dirundung kesedihan dan terbelit kesulitan, sebisa mungkin kita membantunya, baik bantuan materi ataupun dukungan moril. Menghibur dan meringankan beban penderitaannya dengan nasehat, tidak menampakan wajah gembira tatkala dia dirundung duka. Menjenguknya ketika sakit dan mendoakan kesembuhan untuknya serta membantu pengobatannya bila memang dia membutuhkannya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
لَيْسَ المُؤْمِنُ الَّذِيْ يَشْبَعُ وَ جَارُهُ جَائِعٌ إلى جَنْبِهِ
Bukanlah seorang mukmin, orang yang kenyang sementara tetangganya kelaparan di sampingnya. [13]
• Hindari sejauh mungkin sikap yang dapat menyebabkan tetangga kita merasa tersakiti, baik berupa perbuatan ataupun perkataan. Contohnya, mencela, membeberkan aibnya di muka umum, memusuhinya, atau melemparkan sampah di muka rumahnya sehingga menyebabkan ia terpeleset ketika melewatinya, dan jenis gangguan lainnya. Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda.
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِالله وَ اليَوْمِ الآخِر فَلاَ يُؤْذِيْ جَارَهٌ
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka janganlah ia menyakiti tetangganya. [14]
• Kunjungilah tetangga pada hari raya dan sambutlah undangannya jika dia mengundang kita. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
حَقُّ المُسْلِمِ على المُسْلِمِ خَمْسٌ : رَدُّ السَّلاَمِ وَ عِيَادَةُ المَرِيْضِ وَ اتِّبَاعُ الجَنَائِزِ وَ إجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَ تَشْمِيْتُ العَاطِسِ
Hak muslim atas muslim yang lain ada lima, menjawab ucapan salam, menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, memenuhi undangan dan mendoakan orang yang bersin.[15]
• Berikanlah toleransi kepada tetangga kita selama bukan dalam perkara maksiat. Didiklah keluarga kita untuk tidak berkata-kata keras atau berteriak-teriak sehingga mengganggu tetangga. Janganlah kita mengeraskan suara radio kita hingga mengusik ketentraman tetangga, terutama pada malam hari. Sebab, mungkin diantara mereka ada yang sedang sakit, atau lelah, atau tidur atau mungkin ada anak sekolah yang sedang belajar. Dan ketahuilah, mendengarkan musik adalah perkara haram, apalagi jika sampai mengganggu tetangga, maka dosanya menjadi berlipat ganda. Rasulullah bersabda.
خَيْرُ الأصْحَابِ عِنْدَ الله خَيْرُهُمْ لِصَاحِبِهِ وَ خَيْرُ الجِيْرَانِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ
Sebaik-baik sahabat adalah yang paling baik terhadap sahabatnya, dan sebaik-baik tetangga adalah yang paling baik terhadap tetangganya.[16]
Dan hendaklah kita tidak bersikap kikir terhadap tetangga yang membutuhkan bentuan kita, selama kita bisa membantunya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
لَا يَمْنَعْ أَحَدُكُمْ جَارَهُ أَنْ يَغْرِزَ خَشَبَةً فِي جِدَارِهِ
Janganlah seorang diantara kalian melarang tetangganya untuk meletakkan kayu di tembok rumahnya.[17]
Berkenaan dengan hadits di atas, Syaikh Salim bin Ied Al Hilali membawakan beberapa pelajaran yang berkaitan dengan hak tetangga yaitu: Yang pertama : Saling membantu dan bersikap toleran sesama tetangga merupakan hak-hak tetangga (yang wajib dipenuhi) sekaligus merupakan wujud kekokohan bangunan masyarakat Islam. Yang kedua : Jika seseorang memiliki rumah, kemudian ia memiliki tetangga dan tetangganya itu ingin menyandarkan sebatang kayu di temboknya tersebut, maka boleh hukumnya bagi si tetangga untuk meletakkannya dengan izin atau tanpa izin pemilik rumah, dengan syarat hal tersebut tidak menimbulkan mudharat bagi si empunya rumah, karena Islam telah menetapkan satu kaidah umum
[18] ( لاَ ضَرَرَ وَ لاَ ضِرَارَ) .
• Berikanlah hadiah kepada tetangga, walau dengan sesuatu yang mungkin kita anggap sepele. Karena saling memberi hadiah akan menumbuhkan rasa cinta dan ukhuwah yang lebih dalam. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menasehati Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu.
إذَا طَبَخْتَ مَرَقًا فأكْثِرْ مَاءَهُ ، ثُمَّ انْظُرْ أهْلَ بَيْتٍ مِنْ جِيْرَانِكَ ، فأصِبْهُمْ مِنْهَا بِمَعْرُوفٍ
Jika suatu kali engkau memasak sayur, maka perbanyaklah kuahnya, kemudian perhatikanlah tetanggamu, dan berikanlah mereka sebagiannya dengan cara yang pantas. [19]
• Tundukkanlah pandangan kita terhadap aurat tetangga, jangan pula menguping pembicaraan mereka. Apalagi sampai mengintip ke dalam rumahnya tanpa seizinnya untuk mengetahui aib mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
قُلْ لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ
Dan katakanlah kepada laki-laki beriman:"Hendaklah mereka menahan pandangan mereka. [An Nur:30]
KERASNYA ANCAMAN MELANGGAR KEHORMATAN TETANGGA
Ketahuilah wahai akhi muslim dan ukhti …..Islam mengajarkan kita untuk menjadi seorang bisa bermanfaat bagi orang yang lain, atau bila kita tidak bisa memberi manfaat kepada orang lain, paling tidak kita menahan diri jangan sampai menyakitinya. Apalagi terhadap tetangga, mereka memiliki hak sangat besar yang wajib kita tunaikan. Bukankah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia?. Maka berbuat baik kepada tetangga merupakan cerminan baiknya keimanan seseorang. Dan sebaliknya, menyakiti tetangga merupakan simbol ahlul jahl (orang yang tidak mengerti ilmu).
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya oleh seorang sahabat,"Wahai Rasulullah, sesungguhnya Fulanah rajin shalat malam, rajin pula shaum pada siang hari dan gemar bersedekah, tapi dia menyakiti tetangganya dengan lisannya! Maka Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab.
لاَ خَيْرَ فِيْهَا هِيَ مِنْ أهْلِ النَّارِ. قَالَ : وَ فُلاَنَة تُصَلِّيْ المَكْتُوْبَةَ وَ تَصَدَّقُ بِأثْوَارِ مِنَ الأقِطِ وَ لاَ يُؤْذِيْ أحَدًا ؟ فَقَالَ: هِيَ مِنْ أهْلِ الجَنَّةِ
Tidak ada kebaikan padanya, dia termasuk penghuni neraka". Lalu sahabat itu bertanya lagi,"Fulanah (wanita) yang lain rajin shalat fardlu, gemar bersedekah dengan sepotong keju dan tidak pernah menyakiti seorang pun?. Maka Beliau menjawab,"Dia termasuk penduduk surga.[20]
Syaikh Nazhim Muhammad Sulthan berkata,"Menyakiti seorang muslim tanpa alasan yang benar adalah perkara yang haram. Akan tetapi menyakiti tetangga lebih keras lagi keharamannya.
Dari Miqdad bin Al Aswad ia berkata, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.
لأنْ يَزْنَيَ الرَّجُلُ بِعَشْرِ نِسْوَةٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أنِ يَزْنِيَ بامْرَأةِ جَارِهِ وَ لأنْ يَسْرِقَ الرَّجُلُ مِنْ عَشْرةِ أبْيَاتٍ أيْسَرُ لَهُ مِنْ أنْ يَسْرِقَ مِنْ بَيْتِ جَارِهِ
Sungguh, jika seorang laki-laki berzina dengan sepuluh wanita itu masih lebih baik baginya daripada ia berzina dengan istri tetangganya, dan sungguh jika seorang laki-laki mencuri dari sepuluh rumah itu lebih ringan (dosanya) daripada ia mencuri dari rumah salah seorang tetangganya.[21]
Zina merupakan dosa besar yang diharamkan Allah Subhanahu Wa Ta'ala, dan Allah telah menetapkan hukum-hukum yang bersifat preventif bagi para pelakunya. Akan tetapi melakukan perbuatan zina dengan istri tetangga tingkat keharaman, kekejian dan kejahatannya lebih berat lagi. Demikian pula halnya dengan mencuri (di rumah tetangga).
Dari Syuraih bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
وَ الله لاَ يُؤْمِنُ وَ الله لاَ يُؤْمِنُ وَ الله لاَ يُؤْمِنُ قِيْلَ مَنْ يَا رَسُوْلَ الله؟ قَالَ: الَّذِيْ لاَ يَأمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَه
Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman". Beliau ditanya,"Siapa wahai Rasulullah?. Beliau menjawab,"Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya.[22]
Al Bawa-iq (البَوَائق) adalah bentuk plural dari baa-iqah (بَائِقَة) maknanya adalah malapetaka, sesuatu yang membinasakan, dan perkara sulit yang datang tiba-tiba.
Ibnu Baththal berkata, "Dalam hadits di atas terdapat penekanan besarnya hak tetangga, karena Beliau sampai bersumpah tentang hal itu. Bahkan Beliau mengulangi sumpahnya sampai tiga kali. Dalam hadits tersebut juga terdapat isyarat penafian iman dari seseorang yang menyakiti tetangganya, baik dengan ucapan ataupun dengan perbuatan. Maksud (penafian disini) adalah (penafian) iman yang sempurna, dan tidak diragukan lagi bahwa seorang yang bermaksiat keimanannya tidak sempurna".[23]
Juga hadits dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'anhu, ia pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
يَا رَسُوْلَ الله ُأيُّ ذَنْبٍ أعْظُمُ؟ قَالَ: أنْ تَجْعَلَ لله نِدًّا وَ هُوَ خَلَقَكَ . قُلْتُ : ثُمَّ أي؟ قَالَ : أنْ تَقْتُلَ وَلَدَ كَخَشْيَةَ أنْ يُطْعَمَ مَعَكَ. قُلْتُ : ثُمَّ أي؟ قَالَ : أن تُزَانِيَ حَلِيْلَةَ جَارَكَ
Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar?. Beliau menjawab,"Engkau menjadikan tandingan bagi Allah padahal Ia yang menciptakanmu". Aku bertanya lagi,"Kemudian dosa apa?. Beliau menjawab,"Engkau membunuh anakmu karena khawatir ia akan mengambil jatah makananmu". Aku bertanya lagi,"Lalu dosa apai?. Beliau menjawab,"Engkau menzinahi istri tetanggamu".[24]
BILA TETANGGA ANDA JAHAT
Memiliki tetangga yang baik dan mau hidup rukun dengan kita merupakan satu kenikmatan hidup. Namun terkadang, kita diuji Allah dengan memiliki tetangga yang tidak baik akhlaknya dan gemar mengganggu kita. Untuk menghadapi tetangga semacam itu, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu memberikan beberapa nasehatnya, sebagai berikut:
• Bersabarlah anda dalam menghadapi gangguan tetangga. Atau memilih pindah rumah jika memang hal itu memungkinkan. Allah berfirman.
وَلاَتَسْتَوِي الْحَسَنَةُ و َلا َالسَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara kamu dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. [Fushilat : 34]
Membalas kejahatan tetangga dengan perbuatan baik merupakan salah satu etika bertetangga yang diajarkan Islam. Yaitu agar kita tidak membalas kejahatan dengan kejahatan yang sama, Al Hasan al Bashri berkata, "Tidaklah berbuat ihsan kepada tetangga (hanya dengan) menahan diri tidak menyakiti tetangga, akan tetapi berbuat ihsan kepada tetangga (juga) dengan bersabar dan tabah menghadapi gangguannya".[25]
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
ثَلاَثَةٌ يَحِبُهُمُ الله، .......وَ الرَّجُلُ يَكُوْنَ لَهُ جَارٌ يُؤْذِيْهِ جَارُهُ فَيَصْبِرُ عَلَى اذَاهُ حَتَّى يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا مَوْتٌ أوْ ظُعُنٌ
Tiga golongan yang dicintai Allah,……..dan laki-laki yang memiliki tetangga yang menyakitinya, kemudian ia bersabar menghadapi gangguannya hingga ajal memisahkan mereka.[26]
• Hendaklah anda berdoa dengan sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu.
(اللهمَّ إنَّيْ أعُوْذُ بِكَ مِنْ جَارِ السُّوءِ في دَارِ الإقَامَةِ فإنَّ جَارَ البَادِيَةِ يَتَحَوَّلُ)
Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari tetangga yang buruk di akhirat, maka sesungguhnya tetangga badui beganti-ganti. [27]
• Jika anda tidak mampu bersabar menghadapi gangguan tetangga, sementara tidak mungkin bagi anda untuk pindah rumah, maka terapkan nasehat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang dikisahkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
جَاءَ رَجُلٌ إلى النَّبِيِّ يَشْكُوْ جَارَهُ، قَالَ: اذْهَبْ فاصْبِرْ، فأتاهُ مَرَّتَيْنِ أوْ ثَلاَثًا، فَقَالَ: اذْهَبْ فاطْرَحْ مَتَاعَكَ في الطَّرِيْقِ، فَطَرَحَ مَتَاعَهُ في تاطِّرِيْقِ، فَجَعَلَ الناَسُ يَسْألُوْنَ فَسُخْبِرُهُمْ خَبَرُهُ، فَيَلْعَنُوْنَ ذلك الجَارَ المُسِيءَ – فَعَلَ الله بِهِ وَ فَعَلَ- كِنَيَةٌ عَنْ سَخَطِ النَّاسِ عَلَيْهِ، فَجَاءَ إلَيْهِ فَقَالَ: ارْجِعْ لاَ تَرَى مِنِّيْ شَيْءًا تَكْرَهُهُ
Seorang laki-laki pernah datang kepada Nabi mengeluhkan tetangganya. Maka Rasulullah menasehatinya,"Pulanglah dan bersabarlah". Lelaki itu kemudian mendatangi Nabi lagi sampai dua atau tiga kali, maka Beliau bersabda padanya,"Pulanglah dan lemparkanlah barang-barangmu ke jalan". Maka lelaki itu pun melemparkan barang-barangnya ke jalan, sehingga orang-orang bertanya kepadanya, ia pun menceritakan keadaannya kepada mereka. Maka orang-orang pun melaknat tetangganya itu. Hingga tetangganya itu mendatanginya dan berkata,"Kembalikanlah barang-barangmu, engkau tidak akan melihat lagi sesuatu yang tidak engkau sukai dariku.[28]
Pembaca, tiada gading yang tak retak.Tidak ada manusia yang sempurna. Ada saja kekurangan yang melekat pada setiap diri kita. Latar belakang yang berbeda menciptakan pribadi yang berbeda. Wacana yang perlu kita kembangkan, bagaimana kita dapat meredam perbedaan yang ada, selama tidak melanggar rambu syariat. Menjalin komunikasi positif dengan menjungjung tinggi akhlak pergaulan. Selamat menuai pahala dari tetangga Anda.
Wallahul Muwaffiq ilaa aqwaamith thariiq (Hanin Az Zarqa')
Maraji:
• Tafsir Ibnu Katsir Tahqiq Sami bin Muhammad As Salamah, Dar Ath Thayyibah, cet I th 1422 H/ 2002M
• Imam Ibnu Rajab Al Hanbali, Jami'ul 'Ulum Wal Hikam, tahqiq Thariq bin 'Awadhullah bin Muhammad, Dar Ibnul Jauzi, cet III TH 1422H
• Nazhim Muhammad Shulthon, Qawaid Wa Fawaaid Minal Arba'in An Nawawiyah, Dar Al Hijrah, cet VII th 1421 H/2000M
• Saliem bin Ied Al Hilali, Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadhis Shalihin, Dar Ibnul Jauzi, cet VI th 142 H
• Saliem bin Ied Al Hilali, Iqozhul Himam Al Muntaqa Min Jami'il 'Ulumi Wal Hikam, Dar Ibnul Jauzi, cet V th 1421 H
• Abdurrahman bin Abdul Karim Al 'Ubayyid, Ushulul Manhajil IIslami, Dar Al 'Irfan, cet IV th 1418 H/ 1997 M
• Muhammad bin Jamil Zainu, Min Adabil Islam Li Ishlahil Fard wal Mujtama', cet I th 1424H
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun VIII/1426H/2005M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. HR Bukhari no: 4787 dan Muslim no: 69. lafazh hadits milik Muslim.
[2]. HR. Ibnu Majah no: 4207 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani”. Lihat Min Adabil Islam hal.31 karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu
[3]. Muttafaqun ‘alaih, Shahih Bukhari no: 5555, 5556 dan Shahih Muslim no: 4756, 4757 dari hadits ‘Aisyah dan Ibnu ‘Umar.
[4]. HR Al Bukhari no: 2099
[5]. Qawa’id Wa Fawa’id hal.141
[6]. Qawa’id Wa Fawa’id hal.141 dengan bahasa dari penyusun.
[7]. HR Imam Ahmad (2/160), At Tirmidzi (1943), Abu Daud (5152) dan Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrad (105). Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal.258 tahqiq Thariq bin ‘Awadhullah bin Muhammad
[8]. Lihat Tafsir Ibni Katsir tahqiq Sami bin Muhammad As Salamah II/298
[9]. Lihat Ushulul Manhajil Islami hal.613
[10]. Ushul Manhaj Al Islamy hal. 617
[11]. Disarikan dari kitab Min Adabil Islam hal 31-33 dengan bahasa dari penyusun.
[12]. HR Muslim no: 65.
[13]. HR Bukhari dalam Al Adab Al Mufrad no: 112 dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani”. Lihat Min Adabil Islam hal.32
[14]. HR Bukhari no: 5559
[15]. HR Bukhari no: 1164.
[16]. HR Tirmidzi no: 1867 dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani. Lihat Min Adabil Islam hal.32
[17]. HR Bukhari no: 2283 dan Muslim no: 3019.
[18]. Bahjatun Nazhirin I/387
[19]. HR Muslim no: 4759.
[20]. HR Bukhari dalam Al Adab Al Mufrad no: 119 dan dishahihkan oleh Al Albani. Lihat Min Adabil Islam hal. 32
[21]. HR Imam Ahmad dalam Musnadnya dan Bukhari dalam Al Adabul Mufrad no: 103 dan Ath Thabrani dalam Al Kabir dan dishahihkan oleh
Al Albani. Lihat Shahihul Jami’ no.5043 dan Silsilah Shahihah no: 65.
[22]. HR Bukhari no: 5557.
[23]. Fathhul Bari kitab Al Adab (53/13). Lihat Qawaid wa Fawaid hal. 140
[24]. HR Bukhari (4761) dan Muslim (68)
[25]. Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal. 260
[26]. HR Imam Ahmad no: 20377 dan derajatnya shahih. Lihat Min Adabil Islam hal.34
[27]. HR. Bukhari dalam Al Adabul Mufrad (117), Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf (8/359), Ibnu Hibban dalam Shahihnya (1033), Al
Hakim dalam Mustadrak (1/532) dari jalan Abu Khalid Al Ahmar dari Ibnu ‘Ajlan dari Sa’id Al Maqburi dari Abu Hurairah”. Lihat
Silsilah Shahihah no: 1443.
[28]. HR Abu Daud no: 4486. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu mengatakan hadits ini hasan, sedangkan Syaikh Abdurrahman bin
Abdul karim Al ‘Ubayyid mengatakan hadits ini shahih. Wallahu a’lam.